Tuesday, September 21, 2004

Pendidikan

Lagi males kerja. Agak ngantuk juga. Tidur jam 12 malem, bangun jam 4 pagi lebih dikit. Ngalembono aja dulu.

Masih mengenai pemilu. Personally agak exited dengan terpilihnya SBY. Bukan secara politis, tapi ada harapan di diri,
knowing that he's such an intellectual. Pengin ngerasain bagaimana negara ini dipimpin oleh model pemimpin yang (mustinya) punya konsep, punya background militer, sekaligus suka belajar. Thinking general - ada sebutan itu buat SBY dari press. Seru juga, ngebayangin gimana seorang jendral menggunakan isi kepalanya secara lebih intens daripada menggunakan otot kawat balung wesi. Should be interesting.

Again & again, interestku tetap untuk melihat upaya yang konkrit,
well-planned, dan continuous dalam hal pendidikan. After all, aspek yang lebih sering dianggap sebagai meta-aspect, nggak langsung kelihatan hasilnya ini, imho, pegang peran penting dalam pembentukan karakter bangsa.

Nggak tau pada sadar atau nggak, nggak tau bener nggak, tapi aku berpendapat bahwa akar dari
never-ending problem of this country terkait erat dengan konsep di ilmu sosial yang sering disebut mass-character. Karakter massa. Karakter bangsa.

Kita ini sering terlena seolah-olah jumlah penduduk yang banyak, tanah yang (dulu katanya) subur, posisi geografis,
are everything. Padahal itu semua adalah potensi.

Lupa bahwa
precious gift dari Tuhan itu nggak akan banyak gunanya, kalau tidak diimbangi dengan kerja keras, hati nurani, kejujuran, kepintaran, ketidakserakahan, dan keinginan belajar.

Semakin ke sini, kok rasanya
mass character bangsa ini semakin tidak konstruktif. Lebih sering melihat ke belakang, membandingkan yang sudah terjadi dengan masa kini, menyesalkan kenapa kok dulu nggak gini - nggak gitu, mencari excuse terhadap kegagalan bangsa dengan jutaan alasan, nggak mau mengaca ke diri sendiri dan belajar dari bangsa lain. Itu sebabnya... menurutku.

Negara-negara lain di Asia bisa cepat sembuh, bukan karena mereka secara geografis lebih kecil daripada Indonesia.
At least, bukan hanya karena itu. Willingness to learn, to change, to think and move forward - nggak ada, atau lemah. Jadinya cuma muter2 dari satu lingkaran setan ke lingkaran setan yang lain.

Pendidikan yang kusebut tadi, tidak hanya kepintaran akal, tapi juga mengenai hal yang dulu disebut sebagai budi pekerti. Pelajaran yang dulu pernah ada, tapi disisihkan, dinomor 100-kan, bukan karena nggak penting, tapi karena kita gagal memahami arti pentingnya pelajaran itu.

Baru di akhir 80-an, muncul lagi yang namanya konsep EQ, yang berpendapat bahwa kesuksesan dan keberhasilan individu -
or even nation ternyata lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya, instead of kecerdasan kognitif.

(Lha memang iya. Jauh sebelum itu, orang-orang jaman dulu juga udah tau...:D)

Pendidikan seperti itu yang rasanya perlu didorong lagi. Dibahasakan ulang, dipahami intinya. Susah memang, karena itu lebih banyak bergerak di area yang nggak kelihatan seperti moral, hati nurani, kepekaan sosial, etc. Agak detil bicara soal kepekaan sosial misalnya; coba kalo pendidikan kita berhasil menanamkan kepekaan sosial... apa korupsi akan sampai ke stadium 4 seperti sekarang ini? Rasanya nggak ya? Again - agak susah karena target belajarnya harus sampai ke tataran moral, hati nurani. Jangan cuma sampai ke tataran knowledge seperti yang dulu dan sekarang terjadi. "Jadi anak2.... kepekaan sosial adalah...... " Dan di ujian, pertanyaannya menjadi "Kepekaan sosial adalah....."

Nggak gampang? Absurd? Kesusahan dan ke-absurd-an sebaiknya diletakkan setelah diskusi mengenai perlu nggak perlu selesai dijawab. Siapa juga yang bilang mendidik itu gampang?

Si Hillary Clinton sampe bikin buku mengenai pendidikan yang judulnya agak bombastis, tapi rasanya bener: "
It Takes a Village". Di buku yang aku juga belum selesai baca itu, dia bilang bahwa untuk mendidik dan menjadikan 1 anak menjadi warga negara yang baik, diperlukan kontribusi penduduk sedesa. Perlu contoh, perlu perhatian, perlu kondisi yang kondusif, perlu sistem pendidikan formal yang bener. Kalo nggak, ya nggak usah ngimpi pendidikan bakal berhasil...

Indonesia, sudahkah berpikir sampai ke sana? Berpikir, mungkin sudah. Yang berpikir ke arah sanapun rasanya masih segelintir orang dengan keterbatasan masing2. Mikir mengenai itu sebelum tidur, berjanji ke diri sendiri untuk memikirkan dan menindaklanjuti pikiran itu keesokan harinya, tapi kemudian lupa menindaklanjuti karena dapat laporan ada gedung sekolah yang ambruk. Jadi kayak ditampar dan balik lagi ke nalar yang 'apa adanya'. Sorenya, pulang dari kantor, dia mikir lagi, kemudian pikiran itu dibunuh dengan statement otak kanan, "Ngapain mikir gituan? Yang basic2 aja belum kejadian...."

Siapa yang salah? Diskusi salah-benar, sudah terlalu sering dilakukan secara berlebihan. Bukan dalam wacana belajar supaya nggak kejadian lagi, tapi lebih sering dalam wacana menyalahkan pihak lain.

Dalam sebuah diskusi off-line dengan COO-ku, ibaratnya kita masuk ke perusahaan yang masalahnya udah kusut kayak segulungan benang tak jelas ujung pangkalnya di tempat sampah, darimana kita mulai pecahkan masalah? Dalam situasi seperti itu, mana ujung mana pangkal nggak terlalu penting - menurutku. Ambil aja sembarang bagian dari benang itu, potong dengan gunting, dan sepakati bersama-sama, bahwa itu ujung benang. Begitu seterusnya, secara bertahap. Setiap kali ketemu masalah, putuskan benangnya tepat dimana masalah itu ketemu.

Di salah satu forum diskusi capres, ada panelis yang tanya soal
liberating education. Wuih... canggih konsepnya. Pendidikan yang membebaskan. Agak serem kayaknya - not really sure.

Kenyataannya, konsep pendidikan sekarang selalu berubah sesuai dengan perubahan menterinya. Jadi kita ini nggak pernah cukup sabar untuk melihat efek/hasil pendidikan kita sendiri. Padahal, banyak lho, yang sepakat bahwa pendidikan itu proses, makan waktu, dan lebih
process-oriented daripada result-oriented.

Hasilnya ya gitu dah.... Nggak perlu kan, bertele2 dengan fakta2 miring soal pendidikan kita?

Jadi? Ya gitu itu... sepakat di level konsep mengenai semacam Rencana Pendidikan Jangka Panjang, menterjemahkan ke level teknis/operasional, mengeliminasi keterbatasan yang ada, dan sabar dan konsisten, dan
committed untuk menjalankannya. Sounds easy? No, it ain't easy at all.

Mungkin ada yang nggak setuju dengan analogi berikut: adakah diantara kita yang tidak yakin Tuhan itu udah tau apa yang akan terjadi terhadap dunia ini nantinya? Apakah Tuhan tidak tahu kapan dunia bakal kiamat? Tahu kan?

Terus, kalo toh akhirnya juga hancur, kenapa Tuhan ngotot dengan banyak cara mencoba mendidik dan mengajar manusia? Kenapa sih nggak dibiarin aja, toh nantinya juga kiamat, pada mati semua?

Well, dari sudut pandang pendidikan, mungkin karena Tuhan juga di pihak yang percaya bahwa dalam pendidikan, proses bisa jadi lebih penting daripada hasil....:-)

No comments: