Wednesday, October 22, 2008

Gusti Allah Ora Ndeso (Emha Ainun Nadjib)

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.

Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Pursuing Dreams Bigger than Ourselves

Hingga ke jenjang aktualisasi dirinya yang sudah cukup tinggipun, nampak bahwa TPR masih belajar. Mengikuti pola pikir dan filosofinya sejak 1995, terlihat bahwa beliau masih terus menangkap hal baru dalam pengalaman hidupnya. Ini tercermin dari buku “Triputra Values - Pursuing Dreams Bigger than Ourselves” yang diluncurkan bersamaan dengan ulang tahun Triputra ke-10.


Mengenai people misalnya, dulu beliau tegaskan 2 hal terpenting: character & competence. Sekarang beliau tambah 1 lagi: drive. Semoga bukan karena banyak leader yang dirasa kurang drive-nya. 


Walaupun mungkin benar, buktinya, salah satu tema dalam President Message tahun 2008 adalah Operational Excellence. Tahun 2009, muncul tema “Rapih, Rapih, Rapih”. Bukankah salah satu esensi Operational Excellence adalah kerapihan bisnis? Mungkin beliau belum terlalu puas dengan kerapihan manajemen dalam perusahaan2 miliknya.


Kalimat berikut versiku sendiri mengenai pentingnya drive, “Seberapa bagus hasil kerjamu? Jawabannya secara kualitatif selalu seperti ini: tergantung 3 hal: passion, konsistensi, dan pemahaman serta keyakinanmu terhadap tujuan dan bentuk akhir dari hasil kerjamu itu.


Begitu banyak bukti menunjukkan, bahwa kualitas hasil kerja yang buruk, tidak selalu berakar pada ketidakmampuan secara teknis. Ketiga hal tersebut di atas, dalam intensitas yang cukup, akan mendobrak berbagai keterbatasan teknis. Yang sulit jadi mudah, yang berat jadi ringan, yang jauh jadi dekat.


Passion itu kunci mesinmu. Dia menyalakan kemampuan kita. 


Konsistensi itu bahan bakar yang akan memampukan kita mencapai tujuan, sejauh apapun. 


Pemahaman dan keyakinanmu terhadap tujuan dan bentuk akhir itu GPS, yang akan selalu memandu kita pada arah yang telah ditetapkan.


Terkait dengan karakter seorang leader, ada statement yang menarik dari TPR, “Leader tidak melakukan sesuatu for his/her own glory. Leader melakukan sesuatu for their team’s glory.” Tambahnya, “Seharusnya piramidanya dibalik, dan leader berada di bagian paling bawah piramida.” Mungkin ini bahasa teorinya adalah Servant Leadership (kepemimpinan yang melayani). 


Social concern yang besar, tersirat juga pada pernyataannya mengenai bagaimana leader harus bersikap menghadapi anak buah yang kurang kompeten. “Leader yang baik tidak meninggalkan anak buahnya. Leader memberikan kesempatan, memperbaiki, dan mendorong anak buahnya mencapai tujuan.” Beliau membandingkannya dengan model manajemen Barat, yang bahkan memiliki sistem yang ‘secara otomatis’ membuang orang yang tidak perform. 


Sebaliknya, mengenai integritas, beliau berkata, “Untuk tindakan yang bertujuan memperkaya diri sendiri, kita tidak perlu memberikan toleransi.” Ketegasan posisinya dalam hal integritas, sangat nyata dan nampak sekali bahwa bagi beliau, hal ini sangat penting dan not negotiable. 


Mengenai good corporate governance, beliau menyatakan, “100% atau tidak sama sekali. Kita akan dikenang sebagai orang yang bersih, atau tidak bersih.” Beliau berpendapat bahwa bersih dan tidak bersih adalah sesuatu yang absolut, tidak bersifat berjenjang. Bahwa secara teknis GCG dilaksanakan secara gradual, yes, karena seringkali GCG terkait dengan compliance terhadap peraturan dan menimbulkan efek finansial. 


Yang juga menarik adalah motif yang mendasari TPR untuk tetap berkarya setelah selesai di Astra. “Saya akan terus berkarya sampai tidak ada masyarakat Indonesia yang miskin.” Motif yang sudah far beyond economical motives. 


Bersyukur punya owner yang memiliki motif pribadi seperti itu. Setidaknya, motif tersebut membuat keputusan yang dibuat cenderung bersifat jangka panjang, mementingkan proses, dan tidak semata-mata mengejar short result yang kadang membuat orang bersikap pragmatis. 


Mengenai values, dengan sangat jelas beliau menyatakan bahwa tanggung jawab value building ada di masing-masing business leader. Kalau business leader ‘paranoid’ soal value, dengan cepat value dapat terbentuk. Values dinyatakannya sebagai elemen yang memberikan guideline dalam pencapaian target, a guiding principles. Leaders can make a dramatic changes. Satu orang cukup, untuk membuat perubahan yang luar biasa. Dari situ nampak adanya tuntutan yang luar biasa dari TPR terhadap jajaran leadernya. 


Satu statement yang menurutku impresif: angka itu hanya scorecard. Saat kebanyakan pengusaha memandang angka sebagai tujuan akhir, beliau menilai angka sebagai semacam rapor atas excellence kita. Dan itu bukan hanya di level kata-kata. Cukup banyak bukti di masa lalu, yang membenarkan keyakinan beliau tersebut. Betapa beliau mau rugi secara angka, sejauh beliau masih melihat adanya kesungguhan, konsistensi, dan kegigihan dari sebuah organisasi. 


Balik lagi, sungguh beruntung punya owner dengan kualitas seperti beliau. Ibaratnya, semua sudah disiapkan, tinggal kita teruskan. Tidak usah susah payah menyamakan hal-hal yang fundamental, yang bisa makan waktu lama dan bahkan bisa membuat chaos dan meruntuhkan organisasi.


Jadi ingat tag line-nya A-Mild. Jadi tua itu pasti, tapi jadi dewasa, itu pilihan. Semoga Tuhan memberikan kebijaksanaan kepada kita semua, agar kita menjadi tua dan dewasa. 


Semoga Tuhan memberkati Pak TPR, agar beliau diberi kesehatan dan umur yang panjang, sehingga dapat terus mengabdi buat bangsa dan menjadi mentor bagi kita semua.