Thursday, September 30, 2004

Besok Dita Ultah

Tanggal 1 Oktober. Tak terasa. Anakku yang ke-3, Nindita Putri Padmana, udah 1 tahun. Missed her much. Mustinya sekarang udah lebih tegak jalannya.

Sebulanan yl. baru latihan jalan, 2-3 langkah, sambil ngomel karena masih takut.

Kerja jauh dari keluarga, sebenarnya beda dengan idealisme berkeluarga yang aku ingin miliki. Rasanya ada essence yang hilang. Kadang sedih cuma bisa denger suara mereka via telpon, mendengar update tentang mereka dari Ningsih, dan nggak bisa be there with them.

With no regret - karena setiap cross road kehidupan aku putuskan dan aku lalui dengan kesadaran penuh. Komitmen setahun kedepan sudah disepakati. Sekarang menyiapkan segala sesuatunya untuk sampai ke sana.

Hidup menawarkan pilihan. Tugas kita memilih. Dan bertanggungjawab, dan menjalani, dan menikmati, dan mensyukuri, dan belajar sepanjang jalan kehidupan itu. Pilihan hidup, biasanya bundled dengan resiko.

Kalau sudah milih, ya otomatis resiko be with us. Itu yang bahasa project managementnya harus dimitigate, diantisipasi dan diatasi. Tapi namanya resiko, ya resiko. Tetep nempel sepanjang jalan yang harus dilalui.

Mungkin dari situ keluar pepatah, "Sak begja-begjane wong kang begja, isih luwih becik wong kang eling lan waspodo."

Dulu ada acara Mimbar Kepercayaan Terhadap Tuhan YME di TVRI. Inget nggak? Salah satu kata kuncinya ya "eling" itu. Eling itu terjemahan sederhananya "ingat", tapi seperti biasa - kosa kata Bahasa Indonesia sangat terbatas untuk bisa menjelaskan makna kata bahasa asing, termasuk Bahasa Jawa.

Eling mengandung konotasi sadar; sadar kedudukan dan posisi diri dalam semesta (jadi inget Pak Damardjati Soepadjar - dosen Filsafatku). Waspodo, mengandung konotasi alert, waspada, siap sedia, antisipatif - daripada reaktif. Kombinasi kedua kata itu menggambarkan kondisi yang rendah hati, tahu diri, sekaligus antisipatif dan waspada, siap sedia dan paham akan segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Nggak banyak rasanya orang yang sampai ke taraf itu.

Dari Dita besok ultah, sampai ke filsafat eling lan waspodo....:)

Inilah ngalembono.


doa buat Dita,

Tuhan, jika pagi esok menjelang
dan nyawa masih Kau anugerahkan kepada Dita
Itu berarti sudah setahun penuh
Kau berikan hidup padanya.

Untuk setiap detik yang mendewasakannya, aku bersyukur
Untuk setiap suap makanan yang menyehatkannya, aku bersyukur
Untuk setiap rasa sakit yang dia harus alami, aku bersyukur
Untuk setiap air matanya, aku bersyukur
Terlebih untuk tawa yang dia bagikan padaku.
Aku sangat bersyukur.

Tuhan, jika pagi esok menjelang
dan nyawa masih Kau anugerahkan kepadaku
Itu berarti sudah setahun penuh
Kau berikan kesempatan bagiku
untuk menjadi orang tuanya.

Untuk setiap ketidaksabaranku, aku mohon ampun
Untuk setiap ketidakdewasaanku, aku mohon ampun
Untuk setiap waktu yang tidak kulewatkan bersamanya, aku mohon ampun
Untuk ketidakpekaanku untuk tertawa bersamanya, aku mohon ampun

Tuhan, jika pagi esok menjelang
dan nyawa masih kau anugerahkan buat kami berdua
mampukan kami untuk mensyukuri
dan menikmati nyawa itu,

sebagaimana seharusnya Kau mengharapkan kami menikmatinya.

kuserahkan Dita padaMu,
kuserahkan seluruh kemanusiaanku juga padaMu.
Biar apa yang kuberikan dan yang tidak kuberikan padanya,
sama dengan apa yang ingin Kau berikan dan tidak ingin Kau berikan padanya.

AMEN
(aku percaya)






They'll Be Here Tomorrow

Istri dan anak2ku tercinta,

Aku berdoa untuk keselamatan, keamanan, dan kesehatan kalian selama perjalanan.

Semoga selamat sampai di Jakarta.

Semoga kita bisa berjumpa.

Really missed you all.

Adi

Friday, September 24, 2004

Jadi Menteri Pendidikan Yuk!

Aku pernah melemparkan wacana ke Ningsih: kenapa orang bule kalo nanya kita kerja apa pake kalimat, "What do you do for living?", sementara orang Melayu seperti kita cenderung menggunakan kalimat, "Kerja dimana?"

Apa itu ada kaitannya dengan internalisasi konsep Melayu, bahwa orang sekolah supaya 'dapet kerja'? Sementara orang Barat terinternalisasi dengan konsep 'liberating education' yang mereka yakini?

Bisa jadi aku mengada-ada, bisa jadi nggak.


Coba, sekarang take a look at ourselves. Apa yang pertama kali dilakukan setelah lulus? Kirim2 CV kan? Pernah nggak kepikir untuk running own business, atau mungkin jadi kordinator tukang koran, atau bentuk-bentuk usaha mandiri lainnya? Pernah nggak?


Mungkin ada yang pernah, dan setelah dielaborate, muncul alasan kurang modal, nggak tau caranya, nggak punya channel/network, nggak ada bakat, et cetera.


Coba sekarang take a look at ourselves. Berapa diantara kita yang bener2 intens nyoba nyari duit while studying? Alasan klasiknya: takut ngganggu kuliah. Lagian ngapain, masih ada yang biayai kok.

Kenapa?


Mass character, education concept, dan social enforcement. Itu menurutku penyebabnya. Dan sialnya, ketiganya saling terkait, saling mempengaruhi dan saling dipengaruhi. Jadi kayak lingkaran setan. Never ending.


Semoga nadanya bukan nada menyesal dan menyalahkan. Kesel sih iya. Gimana nggak kesel, kalau punya pendapat bahwa bangsa ini punya potensi untuk menyelamatkan dan menentukan nasib sendiri, tapi dari waktu ke waktu terbukti bahwa bangsa ini tidak bisa mengaktualisasikan potensi dan tidak berani menanggung resiko atas penentuan nasib sendiri?


Rada nggak nyambung antara alinea di atas dengan yang di atasnya, tapi rasanya kok berhubungan juga. Internalisasi value menggumpal menjadi mass concept yang diyakini kebenaran dan dikuatkan dari waktu ke waktu. Tanpa disadari (atau sebenarnya disadari, tapi udah kadhung ruwet?), mass concept mewarnai konsep dan ide dasar pendidikan dan mempengaruhi subjek dan objek pendidikan.


Tahun demi tahun, dasawarsa demi dasarwarsa. Masalah korupsi dana pendidikan nggak usah dibahas - bikin tambah pusing.


Masih bisa dipahamikah pemahamanku? Sukur kalo masih. Tapi kalo nggak juga nggak papa. Ini cuma pendapat kok, dari seorang Adi, yang nggak punya kuasa apa2 untuk mengubah sistem pendidikan.

Balik lagi ke my major concern now: benerin dasar pemikiran dan sistem pendidikan. Ujung awalnya dari situ, untuk kemudian in longer term, bangsa ini punya human capital yang worthed dan bahkan menjadi self-started, self-regulated engine untuk mengembangkan bangsa ini. Sementara itu disiapkan, patch2 jangka pendek dijalankan secara konsisten. Kalo ada yang ngeyel, sikat. Mirip2 yang dijalanin Mahathir Mohammad 'lah.


Kalo nggak gitu, siapapun yang jadi Presiden, gak akan mampu untuk mengangkat sendirian beban negara ini.


Harus ada yang mikir ke sana.


Akhir2 ini aku sedang sering bermimpi ditelpon SBY dan diminta untuk jadi Menteri Pendidikan.


Hahahahaha……

Jangan Kalah Sama Bleki!

Sebut saja si X, WNI.

Di harus pergi ke Singapore untuk urusan kerja. Bisakah dia antri, nggak ngeludah & buang puntung sembarangan, dan mematuhi aturan2 Singapore yang seabrek itu?

Tiga hari di Singapore, musti balik ke Indonesia. Bisakah dia antri, nggak ngeludah & buang puntung sembarangan?

Belum tentu. Padahal itu orang yang sama lho... Si X. Kenapa? Karena nggak ada aturan di Indonesia? Karena nggak ada hukuman? Jadi Si X ini orang yang belum cukup dewasa sehingga harus dihukum2 supaya ngerti bahwa seharusnya gini seharusnya gitu?

Maaf, kasar. Tapi jadi inget dulu pernah punya anak anjing (sebut saja Bleki), yang harus dilatih, dipukul, dibentak, supaya lama2 tau bahwa tempat pup adalah tempat berpasir dekat pintu dapur.

Apa bedanya?

Si X itu juga, yang setiap ada kesempatan, selalu ngoceh tentang nggak becusnya pemerintah kita ngatur kehidupan masyarakat, soal korupsi, inefisiensi pemerintahan. Pokoknya, siapapun yang mimpin, nggak ada yang bener.

Andaikata..... di Indonesia setiap hari ada 10 orang yang sadar, bahwa ada hal2 yang within our control, manageable, reachable buat kita atur sendiri, yaitu perilaku kita dalam bermasyarakat......

Andaikata..... di Indonesia setiap hari ada 10 orang yang sadar, bahwa ngoceh, mengomentari, menyayangkan ini-itu, mengecam tindakan dan kebijakan pemerintah tidak cukup untuk mengubah bangsa ini.....

Mungkin semuanya akan jadi lebih mudah.

Pemerintah fokus ke masalah2 besar dan strategis, sementara common culture seperti di atas, bisa dibereskan dan disepakati di level masyarakat.

Bisakah kita berhenti mencerca, melihat ke diri sendiri, dan berusaha menemukan tindakan yang bisa kita lakukan untuk masalah sosial yang ada? Jangan liat kemana-mana! Ke diri sendiri saja. Be objective, dan temukan betapa banyak hal remeh, kecil, yang bisa kita lakukan.

Apabila kau kepala keluarga, setidaknya kau kemudian akan menjadi contoh bagi keluargamu. Apabila kau adalah kepala departemen, setidaknya kau akan menjadi contoh departemenmu. Apabila.... maka..... Apabila... maka..... Bisakah membayangkan snowball effectnya?

Common culture tadi, adalah akar dari mass value penting dalam masyarakat seperti tanggung jawab, punya rasa malu, patuh, jujur.

Now, biarkan waktu dan enforcement dari pemerintah membantu proses internalisasi mass value. Setahun, dua tahun, tiga tahun....

Masih bisa bermimpi kan? Bermimpilah, bahwa dengan model seperti itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang makin dewasa, berbudaya, punya rasa malu, punya tanggung jawab, jujur, dan patuh aturan.

Teruskan mimpimu..... bermimpilah mengenai sebuah negara yang bisa mengatur, mengontrol, dan mendidik dirinya sendiri. Adakah korupsi, kebusukan politik, kemaksiatan, kebohongan publik akan punya tempat dalam negara seperti itu? Terlihatkah di mimpimu, betapa manisnya hidup di tempat seperti itu?

Sekarang, bangunlah dari mimpi indahmu, dan lakukan sesuatu!

Jangan kalah sama Bleki!



Link and Match? (cont.)

Ada inisiatif yang bagus kayak yang dilakukan oleh JICA dan ITS. Bikin pendidikan D3 yang benar2 berorientasi pada industri. Totalnya 7 semester, 1 semester di kampus, 1 semester di perusahaan. Begitu seterusnya sampai lulus.

Effort dari PT memang jadi jauh lebih besar. Dia harus menjalin kerja sama jangka panjang dengan industri, melakukan visit dan menampung feedback dari industri, mengatur proses magang pada tiap2 periode.

Selama di BaliCamp, sempat menampung mereka selama 1 periode magang. Kontrol dari PT cukup intens, mereka punya mekanisme dan komitmen untuk minta feedback, menjembatani masalah yang terjadi antara anak2 dengan industri, melakukan company visit secara periodik, dan memastikan bahwa feedback dari industri ditindaklanjuti sekembalinya mahasiswa dari industri.

Bisa dipastikan, selulusnya mereka, set of skillnya bisa cukup match dengan kebutuhan industri, dan industri jadi lebih mudah menyerap mereka.

Di Solo juga ada ATMI, polanya mirip2, mengadopsi kurikulum mechanical engineering Swiss yang terkenal itu. Sekali nglulusin, cuma 20-an orang, diperebutkan oleh kalangan industri manufaktur, sampai2 ada kuota dari ATMI, dan ada evaluasi mengenai performance, career yang akan mempengaruhi kuota perusahaan di waktu yad. Hebat kan?

Pengangguran usia produktif katanya sekitar 40 juta sekarang (CMIIW). Adakah benang merah yang bisa ditarik antara link and match dengan kenyataan itu? Atau , cuma karena kurangnya kesempatan kerja?

Kok belum dapet telp. dari SBY ya?

Thursday, September 23, 2004

Link and Match?

Tiba2 inget beberapa usaha yang pernah aku lakukan untuk nyambungin pihak pendidikan dan pihak industri IT di Bali.

Konsep link and match ini sudah terdengar sejak akhir 80-an. Digaung2kan dan dipandang sebagai konsep cerdas yang akan memecahkan kebuntuan hubungan antara pencetak tenaga kerja dengan pemakai tenaga kerja.

Tapi, setelah sekitar 8 tahun berkecimpung di dunia industri, di HR pula, rasanya kok nggak ada effort yang sistematis di situ.

Pencetak cenderung birokratis, terkungkung dalam dunianya sendiri, tidak fleksibel, kurang proaktif.

Pemakai cenderung arogan, tidak mau mengerti kesulitan partnernya, result oriented, dan memiliki pre-persepsi bahwa pencetak lambat bergerak, tidak proaktif, dsb, dsb.

Makin lengkap dengan kontribusi dan support pemerintah yang hangat2 tai ayam. Yang sektoral, dan kadang naif.

Wednesday, September 22, 2004

Strategi Marketing Agama

AA Gym is on SCTV last night.

He's one of my favourite speaker. I'm a Christian, but think that he's more universalist rather than trapped into shallow religion-based concept.

Dia bicara soal karakter pemimpin, pentingnya set the example dan pentingnya pendidikan. Mungkin menanggapi pemilu putaran 2 yang baru aja selesai. Some of his speech, somehow, kayak penjabaran dan penguatan dari apa yang aku tulis di blog ini kemarin.

Semoga dia bisa tetap universalist, tidak terjebak ke aliran politik manapun, dan tidak menelan ludah sendiri.

I wonder, ada nggak sih speaker Kristen yang sehebat dia? Mungkin ada, tapi tidak bisa mengakses masyarakat seperti dia (karena isu mayoritas/minoritas?). Atau nggak ada. Yang ada di TV, lebih sering cenderung sangat segmented. Jangankan universalist, diterima oleh semua aliran di Kristen aja nggak.

Aku tahu ada pendeta yang secara prinsip cukup universalist: Pak Ayub Yahya (GKI Kayu Putih). Tapi untuk bisa muncul ke permukaan seperti AA Gym, perlu marketing juga...:) Ini yang mungkin nggak ada.

Menarik juga untuk mengamati bagaimana akhir2 ini, kaum muslim mulai memanfaatkan lagu, memberi nilai tambah kepada lagu, dan mendalami seni suara untuk meningkatkan penerimaan jemaatnya terhadap lagu. Dulu, yang namanya lagu2 muslim itu cuma qasidah, bimbo, dan beberapa yang lain. Itupun sangat 'islam' kedengarannya.

Sekarang lain. Banyak a cappella yang bagus dari kalangan muslim. Banyak lagu baru yang nadanya lebih universalist, tidak terjebak ke (lagi2) irama padang pasir macam qasidah.

Yang lain lagi: cara berdoa. Dulu, yang aku lihat di TV, cara berdoa muslim gitu2 aja. Ada imam/pembaca doa, doa dibacakan dalam bahasa arab, terus diterjemahkan ke bahasa indonesia. Tidak ada upaya memberikan sentuhan emosional.

Sekarang beda. Cara muslim berdoa lebih rileks, lebih emosional, lebih bebas. Mirip dengan cara berdoa orang kristen. Bahasa yang dipakai juga lebih grounded, disuarakan dengan intonasi emosional yang menggugah naik turunnya emosi, dan bisa membuat orang yang mendengarnya menangis.

Menarik kan? Masing2 mengambil nilai lebih dari yang lain, dan coba menerapkannya di lingkungan masing2.

Di Kristen... apa ya? Ada juga sih, meski kecil yang impactnya belum terlalu luas: kayak ajakan untuk doa pagi, jam 5 di gereja, setiap hari misalnya. Ini mengadopsi kedisiplinan muslim dalam hal sholat - I guess.

Selebihnya, yang lebih banyak aku amati, justru muslim yang banyak belajar akhir2 ini, dan mengambil cara yang baik, dari kristen, untuk diterapkan di lingkungannya.

Tuesday, September 21, 2004

Pendidikan

Lagi males kerja. Agak ngantuk juga. Tidur jam 12 malem, bangun jam 4 pagi lebih dikit. Ngalembono aja dulu.

Masih mengenai pemilu. Personally agak exited dengan terpilihnya SBY. Bukan secara politis, tapi ada harapan di diri,
knowing that he's such an intellectual. Pengin ngerasain bagaimana negara ini dipimpin oleh model pemimpin yang (mustinya) punya konsep, punya background militer, sekaligus suka belajar. Thinking general - ada sebutan itu buat SBY dari press. Seru juga, ngebayangin gimana seorang jendral menggunakan isi kepalanya secara lebih intens daripada menggunakan otot kawat balung wesi. Should be interesting.

Again & again, interestku tetap untuk melihat upaya yang konkrit,
well-planned, dan continuous dalam hal pendidikan. After all, aspek yang lebih sering dianggap sebagai meta-aspect, nggak langsung kelihatan hasilnya ini, imho, pegang peran penting dalam pembentukan karakter bangsa.

Nggak tau pada sadar atau nggak, nggak tau bener nggak, tapi aku berpendapat bahwa akar dari
never-ending problem of this country terkait erat dengan konsep di ilmu sosial yang sering disebut mass-character. Karakter massa. Karakter bangsa.

Kita ini sering terlena seolah-olah jumlah penduduk yang banyak, tanah yang (dulu katanya) subur, posisi geografis,
are everything. Padahal itu semua adalah potensi.

Lupa bahwa
precious gift dari Tuhan itu nggak akan banyak gunanya, kalau tidak diimbangi dengan kerja keras, hati nurani, kejujuran, kepintaran, ketidakserakahan, dan keinginan belajar.

Semakin ke sini, kok rasanya
mass character bangsa ini semakin tidak konstruktif. Lebih sering melihat ke belakang, membandingkan yang sudah terjadi dengan masa kini, menyesalkan kenapa kok dulu nggak gini - nggak gitu, mencari excuse terhadap kegagalan bangsa dengan jutaan alasan, nggak mau mengaca ke diri sendiri dan belajar dari bangsa lain. Itu sebabnya... menurutku.

Negara-negara lain di Asia bisa cepat sembuh, bukan karena mereka secara geografis lebih kecil daripada Indonesia.
At least, bukan hanya karena itu. Willingness to learn, to change, to think and move forward - nggak ada, atau lemah. Jadinya cuma muter2 dari satu lingkaran setan ke lingkaran setan yang lain.

Pendidikan yang kusebut tadi, tidak hanya kepintaran akal, tapi juga mengenai hal yang dulu disebut sebagai budi pekerti. Pelajaran yang dulu pernah ada, tapi disisihkan, dinomor 100-kan, bukan karena nggak penting, tapi karena kita gagal memahami arti pentingnya pelajaran itu.

Baru di akhir 80-an, muncul lagi yang namanya konsep EQ, yang berpendapat bahwa kesuksesan dan keberhasilan individu -
or even nation ternyata lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya, instead of kecerdasan kognitif.

(Lha memang iya. Jauh sebelum itu, orang-orang jaman dulu juga udah tau...:D)

Pendidikan seperti itu yang rasanya perlu didorong lagi. Dibahasakan ulang, dipahami intinya. Susah memang, karena itu lebih banyak bergerak di area yang nggak kelihatan seperti moral, hati nurani, kepekaan sosial, etc. Agak detil bicara soal kepekaan sosial misalnya; coba kalo pendidikan kita berhasil menanamkan kepekaan sosial... apa korupsi akan sampai ke stadium 4 seperti sekarang ini? Rasanya nggak ya? Again - agak susah karena target belajarnya harus sampai ke tataran moral, hati nurani. Jangan cuma sampai ke tataran knowledge seperti yang dulu dan sekarang terjadi. "Jadi anak2.... kepekaan sosial adalah...... " Dan di ujian, pertanyaannya menjadi "Kepekaan sosial adalah....."

Nggak gampang? Absurd? Kesusahan dan ke-absurd-an sebaiknya diletakkan setelah diskusi mengenai perlu nggak perlu selesai dijawab. Siapa juga yang bilang mendidik itu gampang?

Si Hillary Clinton sampe bikin buku mengenai pendidikan yang judulnya agak bombastis, tapi rasanya bener: "
It Takes a Village". Di buku yang aku juga belum selesai baca itu, dia bilang bahwa untuk mendidik dan menjadikan 1 anak menjadi warga negara yang baik, diperlukan kontribusi penduduk sedesa. Perlu contoh, perlu perhatian, perlu kondisi yang kondusif, perlu sistem pendidikan formal yang bener. Kalo nggak, ya nggak usah ngimpi pendidikan bakal berhasil...

Indonesia, sudahkah berpikir sampai ke sana? Berpikir, mungkin sudah. Yang berpikir ke arah sanapun rasanya masih segelintir orang dengan keterbatasan masing2. Mikir mengenai itu sebelum tidur, berjanji ke diri sendiri untuk memikirkan dan menindaklanjuti pikiran itu keesokan harinya, tapi kemudian lupa menindaklanjuti karena dapat laporan ada gedung sekolah yang ambruk. Jadi kayak ditampar dan balik lagi ke nalar yang 'apa adanya'. Sorenya, pulang dari kantor, dia mikir lagi, kemudian pikiran itu dibunuh dengan statement otak kanan, "Ngapain mikir gituan? Yang basic2 aja belum kejadian...."

Siapa yang salah? Diskusi salah-benar, sudah terlalu sering dilakukan secara berlebihan. Bukan dalam wacana belajar supaya nggak kejadian lagi, tapi lebih sering dalam wacana menyalahkan pihak lain.

Dalam sebuah diskusi off-line dengan COO-ku, ibaratnya kita masuk ke perusahaan yang masalahnya udah kusut kayak segulungan benang tak jelas ujung pangkalnya di tempat sampah, darimana kita mulai pecahkan masalah? Dalam situasi seperti itu, mana ujung mana pangkal nggak terlalu penting - menurutku. Ambil aja sembarang bagian dari benang itu, potong dengan gunting, dan sepakati bersama-sama, bahwa itu ujung benang. Begitu seterusnya, secara bertahap. Setiap kali ketemu masalah, putuskan benangnya tepat dimana masalah itu ketemu.

Di salah satu forum diskusi capres, ada panelis yang tanya soal
liberating education. Wuih... canggih konsepnya. Pendidikan yang membebaskan. Agak serem kayaknya - not really sure.

Kenyataannya, konsep pendidikan sekarang selalu berubah sesuai dengan perubahan menterinya. Jadi kita ini nggak pernah cukup sabar untuk melihat efek/hasil pendidikan kita sendiri. Padahal, banyak lho, yang sepakat bahwa pendidikan itu proses, makan waktu, dan lebih
process-oriented daripada result-oriented.

Hasilnya ya gitu dah.... Nggak perlu kan, bertele2 dengan fakta2 miring soal pendidikan kita?

Jadi? Ya gitu itu... sepakat di level konsep mengenai semacam Rencana Pendidikan Jangka Panjang, menterjemahkan ke level teknis/operasional, mengeliminasi keterbatasan yang ada, dan sabar dan konsisten, dan
committed untuk menjalankannya. Sounds easy? No, it ain't easy at all.

Mungkin ada yang nggak setuju dengan analogi berikut: adakah diantara kita yang tidak yakin Tuhan itu udah tau apa yang akan terjadi terhadap dunia ini nantinya? Apakah Tuhan tidak tahu kapan dunia bakal kiamat? Tahu kan?

Terus, kalo toh akhirnya juga hancur, kenapa Tuhan ngotot dengan banyak cara mencoba mendidik dan mengajar manusia? Kenapa sih nggak dibiarin aja, toh nantinya juga kiamat, pada mati semua?

Well, dari sudut pandang pendidikan, mungkin karena Tuhan juga di pihak yang percaya bahwa dalam pendidikan, proses bisa jadi lebih penting daripada hasil....:-)

Ngalembono?

Ngalembono. Itu bahasa Jawa. Bukan Java - sama sekali bukan. Terjemahan bebasnya "mengembara". Lebih dalam pengertian spiritual, mental, daripada pengembaraan dalam konotasi fisiknya.

Ngalembono menjelaskan perjalanan pikiran, bisa dalam bentuk yang high-level (visioning gitu), atau yang low-level macam ngelamun biasa.

Tadinya nama blog ini Thoughts Recompiled. Tapi tiba2 'ngalembono' muncul di kepala, dan rasanya lebih pas dengan isinya yang gado-gado.

New Hope (?)

Kemarin pemilu. Yang menang (kayaknya) SBY & JK. Aku golput. Sebenarnya pengin milih, tapi udah terlanjur nggak ndaftar karena pindah rumah dari kontrakan ke rumah sendiri (di Bali).

Bunch of hope for both of two. Personally, aku rasa kombinasi mereka jauh lebih mantap daripada Mega & Hamzah.

Tapi jalan panjang masih membentang. Semuanya masih hipotetik. Belum empirik. Mungkin bangsa ini akan dibawa ke arah yang lebih konseptual, lebih teoritis.

My own concern is education. Still believe that to see better Indonesia in long future, we have to take a very good care of national education policy, infrastracture, and human capital. Pengin usul ke SBY, supaya dari TK udah ada mata pelajaran "Rasa Malu". Bangsa ini tidak punya rasa malu.
Grass root mungkin masih punya rasa malu, tapi di mid level, politikus, pejabat... bwehhh... njelehi!

Congrat and good luck!